Oleh : Tata Sutarya Dsh
Ada kesimpulan yang begitu menampar muka saya setelah berkali-kali
ketemu dengan para pengusaha dalam Komunitas Muslim Pengusaha yang belum
lama kami dirikan. Diperkuat lagi setelah berkenalan dengan Kang Puji
seorang Muballigh yang kaya raya dari Jogjakata. Beliau adalah seorang
pengusaha sukses yang sangat pandai memberi wejangan pengajian, namun
pola hidupnya sangat sederhana.
Tamparan itu sangat terasa pedas.
Karena sikap dan kelakuan saya selama ini ternyata begitu bertolak
belakang dengan apa yang saya saksikan pada sosok para pengusaha yang
bersahaja itu. Betapa tidak, selama ini saya memahami bahwa menjadi
sukses itu haruslah memeiliki keberanian mengambil resiko, berani tampil dan bersikap seperti pengusaha. Sehingga dari pemahaman berani ini
waktu itu saya memahami bahwa menghutang ke Bank berani saja, karena kalau tidak
begitu mana bisa sukses, kita harus berani ambil resiko. Biasakanlah
berpenampilan seperti orang sukses, sehingga kebiasaan ini menjadi style
dalam berpakaian, tampilan handphone, kendaraan dan pilihan makanan
yang serba kelihatan wah. Akibat lain dari pemahaman ini, sering tidak
bisa mengontrol masalah keuangan sehingga saya mengevaluasi selama
bertahun-tahun pengeluaranku sampai 3 kali lipat dibanding pemasukanku,
hutang saya tidak kunjung lunas, akibatnya cita-cita ingin punya rumah,
mobil, haji dll tidak kunjung ada harapan juga.
Memang apa yang
dilakukan saya waktu sebelum ketemu dengan para pengusaha yang bersahaja
itu saya sadari banyak kemajuan dalam diri terutama dalam hal
keberanian. Namun setelah bertemu beliau-beliau saya begitu malu.
Mereka yang sudah sukses dan kaya raya ternyata sangat berbanding
terbalik dalam prinsip hidup saya yang serba wah dan boros.
Setidaknya ada beberapa point yang saya ingat dari para pengusaha yang bersahaja itu :
1. Mereka yang bersahaja selalu menahan nafsu untuk melakukan
pengeluaran uang. Keluarkanlah seperlunya. Kalau bisa makan dengan
tempe dan garam saja dengan memasak sendiri mengapa harus pakai daging
dengan beli di warung makan? Dengan begitu rasa makananan yang kita
makan pun akan jauh lebih nikmat dan memuaskan.
2. Mereka yang
bersahaja selalu menganggarkan untuk kebutuhan konsumtif lebih rendah
dari sedekah. Anggaran sedekah harus melebihi anggaran konsumtif.
3. Mereka yang bersahaja itu selalu berpenampilan sederhana. Ada
waktunya kapan berpenampilan style dan kapan berpenampilan biasa saja.
Selama bisa pakai pakaian yang ada mengapa harus membeli baju lagi.
Selama bisa pakai motor mengapa selalu berfikir membeli mobil ?
4.
Mereka yang bersahaja itu selalu bersyukur dengan apa yang ada dan
dimiliki saat sekarang. Tidak akan melirik kepada sesuatu hal yang
sesungguhnya bukan kebutuhannya. Tidak terburu-buru mengeluarkan
pengeluaran untuk sesuatu yang bukan kebutuhannya.
5. Kalau memang
harus berhutang, maka dihitung dulu dengan matang untuk apa hutang saya?
Mereka selalu berhutang hanya untuk sesuatu yang bisa menghasilkan
alias asset. Dan asset itu bisa dibayarnya karena pengasilan bersih
bulanannya empat kali lipat dari angsuran yang dibayarkan untuk hutang
itu.
Dari point-point tersebut akhirnya saya berkesimpulan,
inilah Syukur yang sesungguhnya. Sampai disini akhirnya saya
menyimpulkan ulang bahwa Syukur itu tidak hanya mengucapkan
Alhamdulillah, bergembira dengan apa yang didapat dan beramal yang banyak
saja, tetapi termasuk MENIKMATI APA YANG ADA DAN DIMILIKI SAAT INI.
Sehingga dengan menikmati apa yang ada ini timbullah perilaku yang :
hemat, tidak gampang menghutang, banyak bersedekah, hidupnya pun selalu
nyaman.
Nah… sangatlah wajar jika sudah demikaian Allah akan
mempercayakan harta atau apa pun yang dibutuhkan oleh kita. Karena
Allah percaya jika diberi berapa pun, sedikit atau pun banyak sudah
pasti kita bisa mengelolanya dengan baik dan benar. Rizki yang Allah percayakan tidak akan
dihambur-hambur, paling banyak untuk sedekah, membantu orang lain dan
sebagainya. Wallahu a’lam, inilah syukur yang dahsyat....
Ada kesimpulan yang begitu menampar muka saya setelah berkali-kali ketemu dengan para pengusaha dalam Komunitas Muslim Pengusaha yang belum lama kami dirikan. Diperkuat lagi setelah berkenalan dengan Kang Puji seorang Muballigh yang kaya raya dari Jogjakata. Beliau adalah seorang pengusaha sukses yang sangat pandai memberi wejangan pengajian, namun pola hidupnya sangat sederhana.
Tamparan itu sangat terasa pedas. Karena sikap dan kelakuan saya selama ini ternyata begitu bertolak belakang dengan apa yang saya saksikan pada sosok para pengusaha yang bersahaja itu. Betapa tidak, selama ini saya memahami bahwa menjadi sukses itu haruslah memeiliki keberanian mengambil resiko, berani tampil dan bersikap seperti pengusaha. Sehingga dari pemahaman berani ini waktu itu saya memahami bahwa menghutang ke Bank berani saja, karena kalau tidak begitu mana bisa sukses, kita harus berani ambil resiko. Biasakanlah berpenampilan seperti orang sukses, sehingga kebiasaan ini menjadi style dalam berpakaian, tampilan handphone, kendaraan dan pilihan makanan yang serba kelihatan wah. Akibat lain dari pemahaman ini, sering tidak bisa mengontrol masalah keuangan sehingga saya mengevaluasi selama bertahun-tahun pengeluaranku sampai 3 kali lipat dibanding pemasukanku, hutang saya tidak kunjung lunas, akibatnya cita-cita ingin punya rumah, mobil, haji dll tidak kunjung ada harapan juga.
Memang apa yang dilakukan saya waktu sebelum ketemu dengan para pengusaha yang bersahaja itu saya sadari banyak kemajuan dalam diri terutama dalam hal keberanian. Namun setelah bertemu beliau-beliau saya begitu malu. Mereka yang sudah sukses dan kaya raya ternyata sangat berbanding terbalik dalam prinsip hidup saya yang serba wah dan boros.
Setidaknya ada beberapa point yang saya ingat dari para pengusaha yang bersahaja itu :
1. Mereka yang bersahaja selalu menahan nafsu untuk melakukan pengeluaran uang. Keluarkanlah seperlunya. Kalau bisa makan dengan tempe dan garam saja dengan memasak sendiri mengapa harus pakai daging dengan beli di warung makan? Dengan begitu rasa makananan yang kita makan pun akan jauh lebih nikmat dan memuaskan.
2. Mereka yang bersahaja selalu menganggarkan untuk kebutuhan konsumtif lebih rendah dari sedekah. Anggaran sedekah harus melebihi anggaran konsumtif.
3. Mereka yang bersahaja itu selalu berpenampilan sederhana. Ada waktunya kapan berpenampilan style dan kapan berpenampilan biasa saja. Selama bisa pakai pakaian yang ada mengapa harus membeli baju lagi. Selama bisa pakai motor mengapa selalu berfikir membeli mobil ?
4. Mereka yang bersahaja itu selalu bersyukur dengan apa yang ada dan dimiliki saat sekarang. Tidak akan melirik kepada sesuatu hal yang sesungguhnya bukan kebutuhannya. Tidak terburu-buru mengeluarkan pengeluaran untuk sesuatu yang bukan kebutuhannya.
5. Kalau memang harus berhutang, maka dihitung dulu dengan matang untuk apa hutang saya? Mereka selalu berhutang hanya untuk sesuatu yang bisa menghasilkan alias asset. Dan asset itu bisa dibayarnya karena pengasilan bersih bulanannya empat kali lipat dari angsuran yang dibayarkan untuk hutang itu.
Dari point-point tersebut akhirnya saya berkesimpulan, inilah Syukur yang sesungguhnya. Sampai disini akhirnya saya menyimpulkan ulang bahwa Syukur itu tidak hanya mengucapkan Alhamdulillah, bergembira dengan apa yang didapat dan beramal yang banyak saja, tetapi termasuk MENIKMATI APA YANG ADA DAN DIMILIKI SAAT INI. Sehingga dengan menikmati apa yang ada ini timbullah perilaku yang : hemat, tidak gampang menghutang, banyak bersedekah, hidupnya pun selalu nyaman.
Nah… sangatlah wajar jika sudah demikaian Allah akan mempercayakan harta atau apa pun yang dibutuhkan oleh kita. Karena Allah percaya jika diberi berapa pun, sedikit atau pun banyak sudah pasti kita bisa mengelolanya dengan baik dan benar. Rizki yang Allah percayakan tidak akan dihambur-hambur, paling banyak untuk sedekah, membantu orang lain dan sebagainya. Wallahu a’lam, inilah syukur yang dahsyat....
0 komentar:
Posting Komentar